Pintar Mengonsumsi Konten Media Saat Ini


Kritis Dong, Guys!
Oleh: Regi Meliala, Mahasiswa semester VI,


Ditemani secangkir kopi dan camilan, saya berusaha mengembangkan konsep yang banyak orang tau tentang kepentingan politik, organisasi, atau satu pihak yang memanfaatkan media. Apalagi di tahun 2018 dan 2019 mendatang, banyak orang termakan jebakan ‘batman’ media yang memuat kepentingan politik. Mengapa, ya?
Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Momen yang ramai dibicarakan orang banyak terlebih di negara demokrasi. Partai politik saling adu komitmen demi memperebutkan kursi pemerintahan. Bila sudah ‘politik’, pasti menghalalkan segala cara. Benarkah begitu? Sebelum pikiran saya terjerumus pandangan negatif, kita selisik peran media.
Media memiliki banyak jenis. Pamflet di pinggir jalan, spanduk, poster dan bentuk visual lain yang kerap digunakan sebagai bidang periklanan bisa dikatakan media. Walaupun materi yang disampaikan berupa iklan, tetapi setiap pembaca mendapatkan pesan. Oleh karena itu media digunakan dalam kampanye politik, karena mampu menyampai pesan untuk memilih mereka saat pesta demokrasi berlangsung.
Manusia memerlukan informasi seperti tubuh membutuhkan nutrisi. Dapat dikatakan kebutuhan akan informasi naik level jadi kebutuhan primer. Bagaiamana tidak, di zaman millennial bila kita tidak tau apa yang sedang ramai dibicarakan, rasanya seperti hidup di zaman purbakala. Kudet bahasa gaulnya, kurang update. Kondisi itu memaksa setiap orang untuk mengonsumsi media. Media televisi, radio, koran, majalah, tabloid, dan media online.
Saya mengutip dari Nielsen Research mengenai pola konsumsi masyarakat akan media. Bunyinya seperti ini:
Secara keseluruhan, konsumsi media di kota-kota baik di Jawa maupun Luar Jawa menunjukkan bahwa Televisi masih menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%), disusul oleh Internet (33%), Radio (20%), Suratkabar (12%), Tabloid (6%) dan Majalah (5%).  Namun dilihat lebih lanjut, terdapat perbedaan yang menarik antara pola konsumsi media di kota-kota di Jawa dibandingkan kota-kota di luar Jawa. Konsumsi media Televisi lebih tinggi di luar Jawa (97%), disusul oleh Radio (37%), Internet (32%), Koran (26%), Bioskop (11%), Tabloid (9%) dan Majalah (5%). Sementara itu, di Jawa hanya konsumsi Internet yang sedikit lebih tinggi yaitu sebanyak 34%. Khusus mengenai Internet, penggunaan media ini mengalami pertumbuhan tertinggi dalam 4 tahun terakhir, hingga mencapai dua kali lipat di Jawa maupun luar Jawa.
            Dari data itu, saya mendapat kesimpulan yang begitu kontras. Kota-kota di luar  Jawa dominan mengonsumsi media televisi sebagai sumber informasi, sedangkan kota-kota di Jawa, media online (daring) yang dominan dan terus berkembang. Disituah masalah timbul: komunikasi politik seringkali menggunakan media sebagai alat pembentuk opini publik. Dengan jumlah masa atau penonton yang dimiliki media itu khususnya televisi dimanfaatkan beberapa pelakor untuk menggencarkan ambisi politik. Konten Politik itu meliputi visi-misi partai, arah pemberitaan mendukung suatu pihak, hymne partai terkait perusahaan dan lain-lain.
Media massa berjalan melakukan aktivitas keredaksiannya dengan arahan pimpinan perusahaan. Apa yang akan diproduksi, itu semua pimpinan yang memegang kuasa. Inilah yang dimanfaatkan para pelakor politik. Selagi memiliki perusahaan media yang besar, mengapa tidak memanfaatkan unit usaha itu untuk melakukan komunikasi politik?
                Siapa yang tidak kenal para konglomerat media? Hary Tanoesoedibjo, pemilik perusahaan media MNC Group (RCTI, MNC TV, koran Sindo, Okezone.com dll) sekaligus pengusaha dan tokoh politik (Ketua Partai Persatuan Indonesia, Perindo). Lalu Aburizal Bakrie, pengusaha, tokoh politik (politisi dari partai Golkar) juga pemilik perusahaan media TV One, ANTV. Surya Paloh, tokoh politik (Ketua Partai Nasdem)  juga memiliki media Metro TV. Tokoh-tokoh ini sebagai contoh yang beresiko menggunakan kewenangannya untuk melakukan komunikasi politik di media mereka masing-masing. Masih ingatkah Anda pada Pemilu 2014 silam?
            Saya mengutip informasi berikut dari sebuah blog, Hidayatulloh.com. Ambisi konglomerat media untuk memiliki kekuasaan di negeri itu mirip ala Silvio Berlusconi, bos jaringan media massa terbesar di Italia—Mediaset. Pemilu Italia 1994, Berlusconi mendirikan partai baru bernama Forza Italia (Kekuatan Italia). Partai ini menjadi pemenang pemilu 1994 dan—setelah berkoalisi dengan sejumlah partai lainnya—mengantarkan konglomerat itu menjadi perdana menteri di negara penggemar pizza. Berlusconi hanya mampu memerintah Italia selama 7 bulan karena konflik internal di koalisi politiknya. Orang terkaya di Italia itu terpaksa menundurkan diri karena jaringan medianya dikaitkan terlibat dalam kasus suap auditor pajak. (Hatchen, 2005).
Keberhasilan Berlusconi memenangkan Forza Italia dan menaikkannya sebagai perdana menteri tidak lepas dari perilaku komunikasi politiknya dalam mengintervensi jaringan medianya untuk dijadikan sebagai ‘corong’ kampanye terselubung (soft campaign) maupun kampanye resmi secara bombastis.
Meskipun tiga kali jatuh-bangun dari kursi perdana menteri karena berbagai skandal (memerintah pada 1994 – 1995, 2001 – 2006, serta 2008 – 2008), Berlusconi dapat dikatakan sebagai ikon kesuksesan intervensi media untuk kepentingan politik praktis pemiliknya.
Munculnya sejumlah bos media yang melakukan komunikasi politik ala Berlusconi telah menuai kritikan dari para pengamat komunikasi dan etika media di Indonesia. Berlusconi sendiri pun menjadi sasaran kritikan dalam banyak buku komunikasi dan etika media yang terbit di berbagai negara.
Fenomena ini memperkuat pendapat Shoemaker & Reese, bahwa tidak diragukan lagi, pemilik media berbasis pasar memiliki kekuasaan pasar mutlak atas konten dan dapat meminta apa yang ingin mereka masukkan atau keluarkan. Para pemilik suratkabar bebas menggunakan koran mereka untuk melakukan propaganda jika mereka menginginkannya (McQuail, 2011)
            Jelas terekam di ingatan, media mainstream Indonesia beradu klaim siapa yang menjadi pemenang kursi presiden 2014. Kita dapat melihat arah pemberitaan, iklan dan berita pariwara masing-masing televisi di Indonesia mendukung paslon 1 (Prabowo- Abu Rizal Bakrie) atau 2 (Jokowi-Jusuf Kalla). Miris. Kala itu di TV One sempat ada pemberitaan yang menang adalah paslon 1, hingga sujud berdoa di acara tersebut, padahal pengumuman pemenang belum secara resmi dikeluarkan KPU. Saya mengutip dari Asumsi.co, quick count pemilu boleh dilakukan media saat TPS tutup. Ini disampaikan oleh Hardly Stefano, dari Komisi Penyiaran Indonesia. Mengapa tidak boleh? Penyampaian hasil jajak pendapat hari atau masa tenang sebelum TPS tutup ini merupakan penggiringan opini, tutur Hardly pada Kompas.com. Akibatnya antar calon saling klaim kemenangan, inilah polemik peliputan lapangan di pemilu. 
            Kadang isu politik juga dapat tersebar dari media sosial, yang dimanfaatkan jurnalis bodong untuk ikut menggemborkan kabar burung yang belum. Anda pasti pernah mendengar isu Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, merupakan seorang penganut agama non-muslim. Mungkin sekilas kita merasa hal ini konyol, tetapi nyata untuk membentuk opini publik. Isu ini pertama kali terdengar saat masa kampanye 2014 dan ramai dibicarakan di media sosial Twitter. Namun masih terngiang-ngiang sampai saat ini. Mungkin menuju Pemilu 2019 isu ini bisa menjadi senjata buat menyerang Pak Jokowi nanti.
Dengan peran itu, media senang memroduksi berita sensasi yang dapat menghasilkan pundi-pundi Rupiah. Media secara kasar tidak peduli opini publik yang terbentuk lewat berita sensasinya akan berdampak seperti apa. Lewat one click pada berita daring yang dimuat akan mengucurkan vitamin D (duit). Padahal masyarakat terutama di daerah akan kebingungan akan polemic pemenang pemilu.
Selain itu, Presiden kita difitnah berasal dari PKI. Anda bisa mencari isu ini di Twitter dengan tagar #FitnahPKI . Sulit untuk menelusuri siapakah yang menyebar isu dan kebohongan itu, sayapun tidak tau ini berasal dari mana. Bisa jadi ini kepentingan politik yang ingin menanamkan citra buruk di mata masyarakat dan ingin ‘mencabut’ kepercayaan publik terhadap kinerja Presiden petahana. Semoga saja tidak.
Foto 1, sumber : Twitter.com/shizuka_macan

 

Isu lain saya temui di media sosial yang berusaha membentuk opini akan kepemerintahan Pak Jokowi gagal. Kita harus kritis dalam hal ini, atas dasar penilaian apakah dapat dikatakan gagal? Masyarakat tidak bisa memaksa media massa untuk tidak memberitakan hal-hal sensasi menyangkut kepentingan politik. Sekali lagi menuju pada vitamin D. Kitalah yang harus berperan untuk mindset driven tidak ‘menelan’ mentah-mentah informasi.
 


Foto 2, sumber : Twitter.com/Marco_phoenix1
Pembuktian data suveri tingkat kepuasan publik, beserta sumber terpecaya.


Jika ada salah satu dari pelakor politik, yang berpendapat atau mengeluarkan statement menyangkut pemerintahan, isu politik, jangan langsung termakan. Itu baru opini, jika mau telusuri kebenarannya. Di sinilah pentingnya sifat skeptis bermanfaat dan masyarakat harus dibekali ilmu jurnalisme yang selalu melakukan check dan recheck.
Kembali ke momen pesta demokrasi Pilkada 2018. Selektiflah dalam memilih media. Mengingat kemudahan zaman ini mengakses berita lewat media manapun tidak menutup kemungkinan adanya berita hoax. Perhatikan kredibilitas media dan tingkat kepercayaan publik terhadap media itu yang terlihat dari kualitas pemberitaan.
Justru lewat media massa kita dapat gunakan untuk mencari tau informasi berimbang seputar politik. Partai politik apa yang akan bertarung adu jiwa kepemimpinan, visi buat wilayah yang akan dipimpin, komitmen apa yang ‘dijual’ dan kenalilah calon-calon tersebut lewat media. Sekali lagi, skeptis dibutuhkan dalam hal ini, cari pembuktian setiap statement yang didapat.
Menurut peraturan KPU, jadwal resmi kampanye Pemilu 2019 di media massa 21 hari sebelum masa tenang (24 Maret-13 April 2019). Hal itu menjadi salah satu trending topic. Terlebih masing-masing partai politik terpilih KPU akan bertarung di pesta demokrasi itu mengajukan jagoannya. Masyarakat pasti tertarik dan penasaran dengan isu yang mengandung sensasi dan media tertuju orientasi vitamin D. Saya berharap, masyarakat tidak kecewa jika melihat media kenyataannya memanfaatkan momen untuk menggemborkan isu yang belum terbukti fakta. Pikiran yang jernih melihat informasi perlu dimiliki publik.
Jika masyarakat sudah dibekali pemikiran yang benar untuk konsumsi berita, media mau tidak mau menyesuaikan kebutuhan berita dengan demand. Jurnalis nakal akan kehilangan pangsa pasar yang senang dengan berita hoax dan mudah diprovokasi. Tidak terasa kopi dan camilan saya sudah habis, senangnya bisa menyuarakan pandangan lewat tulisan. Semoga publik bisa ‘dipintarkan’ dan tidak mudah dipantikkan api oleh konten komunikasi politik. Saatnya menyebarkan semangat positif ini, menuju #Pilkada2018sportif #Pemilu2019sukses #awasiPemilu #awasprovokasi .


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hal Ini Wajib Kamu Ketahui untuk Tarik Hati Investor bagi Startup Pemula

Sukses Ambil Peluang di Industri Hiburan, Segudang Pencapaian E-motion Entertainment

Catatan Perjalanan Najwa Shihab Menjadi Jurnalis Handal